Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

BANJIR

Anak Muda
Oleh : Mohamad Sobary

Anak-anak muda menuntut hak untuk memperoleh gliran memimpin. Sayang tak ada penjelasan mengenai memimpin apa. Sesudah deklarasi yang disiarkan metroTV malam itu, suasana senyap kembali, seperti tak pernah terjadi apapun.

Ada tanggapan alakadarnya dari wapres Jusuf Kalla yang tak bergema secara luas. Kemudian muncul tulisan disebuah media, yang tak cukup meyakinkan, bahwa kaum muda memang bersungguh-sungguh. Generasi muda, harapan bangsa, ternyata juga tak punya konsep tentang kepemimpinan, terobosan terhadap krisis, dan jawaban tentang keindonesiaan masa depan.

Apa yang mereka maksud memimpin ? udah begitu bayak anak muda menjadi anggota DPR, tetapi kekuasaan membuat mereka terbius dan kesudahannya hanya sibuk memperkaya diri

Adapula diantara mereka yang menjadi menteri, tetapi tak tampak hal yang mencolok mata. Misalnya, minimal, hidup sederhana, memahami kesusahan rakyat, memiolki empati dan sikap populis, serta tidak memewahkan diri.

Pekerjaan semudah ini saja tak bisa dipenuhi. Apalagi diminta berprestasi. Lalu, siapa anak muda yang merasa msiap dan menganggap sudah tiba waktunya memimpin ini?

Kalau mereka datang dari kalangan yang sudah disebut diatas, daya tarik apa yang hendak ditawarkan kepada public? Rakyat sudah bosan melihat “wayang”politik yang pemain-pemainnya sudah kehilangan inspirasi dan daya juang. Kita tak lagi memiliki tokoh politik yang agak sedikit otentik, kita tak punya tokoh yang patut disebut pejuang atau patriot.

Kualitas tokoh politik kita hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan pada pegawai negeri : seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, Dan gigih menjaga “tradisi” tak bertanggung jawab.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh lembaga swadaya masyarakat, tokoh politik kita jauh tertinggal. Didalam bidang-bidang tadi mereka berjuang dengan segala resiko dan lebih dari layak disebut pemimpin.

Maka, tak ada diantara mereka yang ikut merengek minta kesempatan memimpin kaena mereka sudah menjadi pemimpin. Mereka tumbuh dari pergulatan nyata, sedang tokoh politik kita direkrut dari partai-partai politik yang agak busuk dalamnya dan tak punya visi besar yang tampak segar diluarnya.

Pada zaman gerakan mahasiswa tahun 1977/78 dulu ada seruan dari salah seorang Universitas Indonesia, minta agar di DPR/MPR ada wakil mahasiswa. Dulu saya juga mahasiswa tapi saya tidak tertarik sama sekali mengikuti pandangan politik macam ini.

Kepemimpinan datang tidak dari kesempatan yang “diberikan” secara bergantian, seperti dalam suatu arisan, melain kan dari prestasi yang tampak oleh public dan mendapat pengakuan public. Alam memang mengatur yang tua otomatis lengser. Tetapi, tak semua yang muda dengan sendirinya boleh nangkring begitu saja. Kecuali, sekali lagi, bila kita bicara tentang mekanisme politik yang tak pernah, atau jarang sekali, bicara tentang kompetensi.

Dalam sebuah seminar di IAIN Sunan Kalijaga di Jogjakarta selkitar tahun 1993, ada mahasiswa yang meminta agar saya tak menulis resensi buku. “biarkan resensi buku itu menjadi bagian teman-teman mahasiswa. Sampean menulis esei saja,”kata dia. Sayapun menuruti “nasehat” itu.

Menulis esei tidak mudah. Pada zaman saya belajar menulis sudah banyak nama nama beken yang sangat mapan. Tetapi saya tak pernah meminta kepada, misalnya Emha Ainun Nadjib atau Goenawan AMohamad, untuk tidak lagi menulis supaya tulisan-tulisan saya yang dimuat di media.

Jurang antargenerasi memang sering menganga lebar. Dalam sejarah, ketegangan antargenerasi muncul dalam pergolakan pemikiran antara yang muda-maju, dinamis, progresif-revolusioner- berhadapan dengan golongan tua-konservatif lamban, memuja masa lalu, dan memelihara adapt- sewperti, misaknya , pergolakan kaum tua dan kaum muda di Minangkabau.

Namun, itu pergolakan pemikiran. Sumpah Pemuda lahir dari pemikiran, diteriakan dalam perjuangan pemikiran dalam memandang masa depan. Cipto Mangunkusumo melawan Sutatmo Suryo Kusumo pada tahun 1918 dalam perdebatan ide dan aspirasi cultural yang jelas dalam memandang masa depan bangsa.

Polemic kebudayan lahir dari ketegangan pemikiran. Ahmad Wahid bergolak pada zaman tenang lewat pemikiran. Mengapa pada abad kegelapan dan zaman penuh kebuntuan sekarang tak lahir percikan pikiran? Mengapa yang lahir hanya kehendak berkuasa yang dibangun diatas asumsi bahwa kekuasaan bisa diatur bergiliran?

Berkali-kali saya hadir, bahkan diminta pidato, dan agak berapi-api, dalam deklarasi partai milik anak-anak muda yang segar wawasannya, jernih naluri politiknya dan berani gigih bekerja. Ditengah-tengah mereka, saya membayangkan generasi Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka.

Saya tak peduli dianggap muda apa tua, saya berpihak pada mereka yang muda dan bergolak. Tetapi, terhadap anak muda yang hanya meminta –tanpa konsep, tanpa kesiapan-saya merasa betapa jauh jarak kita sekarang dengan generasi Bung Karno dan Bung Hatta.

Kita merosot dititik menggenaskan. Zaman memang sudah berubah. Tetapi, dalam perubahan itu haruskah kita tak berpikir melainkan hanya mengharap sambil menunggu kemurahan alam yang akan memberi yang muda momentum emas untuk memimpin?

Apa yang mau dipimpin kalau anak muda hanya siap untuk membacakan sebuah deklarasi?
(Disalin dari Kompas Minggu 2 Desember 2007)

Posting Komentar untuk "BANJIR"