Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Saatnya Anak Muda Memimpin

[Pelita Hati]


Saatnya Anak Muda मेमिम्पिं


SEBUAH SMS masuk di HP. Bagaimana kalau anak muda memimpin bangsa? Mengesankan, ada kekecewaan pada generasi tua yang selama ini memimpin negeri ini. Yang terpenting, apakah hal itu akan menyelesaikan permasalahan yang selama ini kita hadapi? Dengan masalah yang dianggap sangat kompleks, tentunya lebih diperlukan kepemimpinan yang mumpuni, yang dibekali kemampuan manajerial, kebijakan (wisdom), dan integritas serta kredibilitas yang tidak diragukan lagi.Bagaimana melahirkan kepemimpinan seperti itu? Pemimpin itu dilahirkan, kata sebuah teori. Tidak semua orang memiliki kemampuan menjadi pemimpin. Ada faktor X, untuk bisa menjadi pemimpin. Sebaliknya, ada juga pendapat yang mengatakan pemimpin itu bisa dilahirkan. Mungkin, tidak ada teori yang sepenuhnya benar. Tetapi, yang perlu kita hindari adalah lahirnya pemimpin karbitan. Pemimpin yang dilahirkan dengan tidak wajar, melalui jalan pintas, dengan berbagai alasan. Kalau anak muda hendak memimpin bangsa, kepemimpinan seperti ini harus dicegah. Anak muda, jangan mau menjadi pemimpin karbitan. Bagaimana sebuah bangsa melahirkan pemimpin atau memilih pemimpinnya? Ditengah semangat melahirkan pemimpin muda, kita bisa bertanya, mengapa Jepang justru memilih orang tua berusia 71 tahun (Fukuda), menggantikan perdana menteri termuda (Shinzo Abe), yang hanya memimpin Jepang selama setahun? Demikian juga di India, mengapa seorang politisi tua (72 tahun) dan wanita, terpilih sebagai presiden negara demokrasi terbesar di dunia itu? Belum lagi di AS, ketika Ronald Reagan terpilih sebagai presiden diusia 70-an. Notabene, disaat itulah AS memenangkan perang dingin melawan Uni Soviet.Semua itu mengesankan, bahwa pemimpin dan kepemimpinan itu lahir dan dilahirkan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan permasalahan bangsa. Karena itu, biarlah sebuah bangsa memilih pemimpin dan kepemimpinan secara bebas dan demokratis. Kalau ada pembatasan, baik usia (tua atau muda), kelamin (wanita/laki-laki) dan persyaratan lainnya, hal itu bukan menunjukkan proses yang tidak demokratis. Kita bisa keliru memilih pemimpin dan kepemimpinan. Karena itu, kalau anak-anak muda hendak mengambil-alih kepemimpinan bangsa, anak-anak muda itu harus memenuhi kebutuhan bangsa itu. Mampukah ia mengatasi berbagai permasalahan bangsa yang sangat kompleks ini? Dapatkah ia memiliki faktor X sebagai syarat lahirnya seorang pemimpin dan kepemimpinan? Kalau tidak, bangsa ini bisa saja semakin terpuruk. Lahirnya pemimpin/kepemimpinan, sebenarnya dapat kita contoh ketika kita memilih seorang imam sholat. Para ulama memberi contoh, untuk selalu menawarkan ulama lain menjadi imam sholat, ketika mereka hendak berjamaah. Mereka tidak berebut menjadi imam. Dengan demikian, terpilihlah imam yang diterima semua jamaah. Demokratis secara musyawarah. Falsafah seperti ini, agaknya sudah hilang dari khasanah budaya kita. Banyak orang, merasa bisa menjadi pemimpin, bahkan menjadi presiden. Rumongso biso, nanging ora biso rumongso. (Merasa bisa, tetapi tidak bisa merasakan kalau tidak bisa), begitu falsafah Jawanya.(Sulastomo)

सुम्बर : http://www.pelita.or.id/baca.php?id=38885